Like us on Facebook

Seekor Keledai Memasuki Kerajaan Surga

 

Karya Mario F. Lawi 
 
Harum surainya seperti lidah sungai yang melontarkan tombak ke jantung udara. Seorang perempuan membuntutinya. Ia baru saja melewati Sabat yang panjang, renta dan melelahkan. Bagian-bagian bawah tembok kota yang terbelah meninggalkan nganga sebesar lubang jarum. Ia mengingat kembali iota para Yunani sebelum berani bermimpi tentang kebangkitan, jalan ke surga, sumber air hidup, burung merpati dan nyala api. Perempuan itu menyentuhnya dengan tangan beraroma tepung gandum. 
 
Apa yang kauminta daripadaku, Puan? Aroma mausoleum masih melekat pada beban terakhirku. Dari atas punggungku ia banyak berbicara tentang lubang jarum dan revolusi, tentang Romawi dan Yahudi, tentang kesedihan-kesedihan induk ayam dan airmata bapanya yang jatuh untuk kedua kalinya. Ke arahku ia menjura padahal semata cahaya yang menghampiriku. 
 
Di ujung tembok itu ia menoleh. Adegan dari masa lalu diputar kembali: Anak-anak melambaikan rumput segar ke puncak laparnya, ibu-ibu merendahkan buli-buli hingga ke tanah. Air menyembul dari bekas tapak kakinya. Jika ia menunduk, akankah ia lihat bayangnya terpantul? Seorang perempuan tak lagi berjalan, tak lagi menundukkan kepala. Ia melayang dan kakinya tak menyentuh genangan. 
 
Telah kupikul kuk yang terpasang, kau malah senang menjerumuskan aku ke dalam umpama. Di punggungku tergeletak perkakas yang terbuat dari merah yang luas dan ungu yang dijatuhkan dari atas. Tujuh puluh tujuh lubang tak akan cukup menjerumuskan sebab mataku mahir memilah muslihat, membedakan gerak gugup mempelai pemalu dari pecinta mahir di balik tabir. 
 
Ia kibaskan surainya untuk para pembangkang yang semakin lama semakin kecil terlihat dari antara sepasang kaki depannya. Bersediakah kau menuliskan kisahku? Juga untuk perempuan yang tak henti mendoakannya. Kuseret kelak si penjatuh ke hadapanmu, Puan, agar leluasa kau menaklukkannya. 

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write komentar